Dapatkan info terbaru via Facebook. Silahkan klik LIKE / SUKA.

Powered By Blogger Widgets and Blogger Tutorials

Headlines News :
Home » Fakta , Sejarah , Serba serbi » tasawuf

tasawuf

Written By Unknown on Kamis, 03 Januari 2013 | Kamis, Januari 03, 2013

Bismillahirrohmanirrohiim.
Alhamdulillahi Robbil Alamin, segala
puji bagi Allah, yang telah mengutus
Nabiyulloh Muhammad SAW,
beserta para Rosulnya. Semoga
dengan pemahaman ilmu Hikam
yang diajarkan “Syaikhina wa-
Murobbi waruhina” menjadikan kita
mengerti ilmu bathiniah menuju
Allah SWT.
Dalam hal ini tak lupa kami
panjatkan puji syukur kehadirat
Allah SWT, yang selalu
melimpahkan rahmat serta
salamnya kepada junjungan
Nabiyulloh Muhammad SAW,
sehingga dengan pemahaman ilmu
rasa terbaik yang pernah ada lewat
karangan Assyeikh Al- imam
Tajuddin watarjumanul Arifin, Abul
Fadli Ahmad bin Muhammad bin
Abdul Karim bin Abdur Rohman bin
Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Al-
Husain bin Athoillah. mulai bisa
diajarkan kembali.
Salam ta’dzim semoga Allah SWT,
senantiasa mencurahkan
kefadholan-Nya kepada Assyeikh Al-
imam Ahmad bin Athoillah, yang
mana beliau mengabdikan dirinya
karena Allah, lewat thorekot
muttasil ila Rosulillah, dari sanad
Assyeikh Abbas Al- Mursy, dari
gurunya Quthbi Assyahir Abu Hasan
Assyadily, dari Quthbi Al- Kabir
Abdul salam bin Masyisi, dari
Quthbi Syahir Abdul Rohman Al-
Madany, dari Quthbi Al- Kabir
Taqiyyudin Al- Fuqoir, dari Al-
Quthbu Fakhruddin, dari Al- Quthbu
Nuruddin Abul Hasan, dari Al-
Quthbu Tajuddin, dari Al- Quthbu
Syamsuddin, dari Zaenuddin Al-
Qozwainy, dari Ibrohim Al- Basyri,
dari Al- Quthbu Ahmad Al- Marwany,
dari Al- Quthbi Sa’id, dari Al- Quthbi
Sa’ad, dari Al- Quthbu Fathussu’ud,
dari Al- Quthbu Sa’id Al- Ghozwany,
dari Abu Muhammad Jabir, dari
Awwalul Aqthob Sayyidina Hasan bin
Aly, dari Sayyidina Aly
Karromallohul Wajhah, dari
Sayyidina Wamaulanan Muhammad
Rosululloh SAW, dari Malaikatulloh
Jibril AS, dari Robbul Izzah Jalla
Jallaluh.
Awal dan akhir, semoga dengan
pembedaran kitab “Hikam” kita
semua bisa mengambil manfaat dan
tergolong ahli- Nya, lewat
bimbingan Syaikhina wa- Murrobbi
ruhi wajasadi Akhinal Kirom ibnu
Ahyad.
Sebab menjalankan Thorekot tanpa
guru pembimbing bagaikan kolam
tanpa air, dan Thorekot tanpa
sanad, tidak akan sampai menuju
Allah SWT. Karena menyebutkan
sanad didalam perjalanan mengikuti
sifat Rosululloh SAW, wajib
hukumnya. Dan bagi orang yang
tidak mengetahui silsilah atau
leluhur (jid) dalam perjalanan
menuju Allah SWT, orang tadi
Thorekotnya ditolak/ tidak
diterima. Alasannya; “Perkataannya
dianggap tidak sah (Aku- aku) dalam
kemuttasilan suatu perjalanan
menuju Allah SWT”
Disini, menyebut sanad dari suatu
Thorekot tanpa dasar atau wasilah
guru, menurut makalah Rosululloh
SAW; “La’anallohu man intasaba ila
ghoiri abihi” yang artinya; “Allah
telah melaknat orang- orang yang
menyebutkan suatu perjalanan
tanpa dasar/ terlahir dari orang tua
(tidak mempunyai sumber) Maka
secara runtut kami sebutkan sanad
muttasil dari guruku, panutanku
serta orang tuaku dalam mencari
tabarrukan (Mengambil barokah)
secara benar. Dan sesungguhnya
Mengerti nasab ilmu (orang tua/
guru) dalam pandangan agama itu
lebih penting dan utama daripada
mengenal nasab didalam perut
(orang tua kandung)
Mengenal perjalanan Thorekot yang
dimaksud; “Suatu kesinambungan
hati dari satu sanad ke lainnya
sampai menuju Rosululloh SAW,
hingga kehadiarat Al- HAQ, Allah
Jalaluh”
Maka dengan berpegangan makalah
Rosululloh tadi, kami meruntutkan
perjalanan Thorekot ini dimulai dari
“Syaikhuna wa Murrobi ruhina”
Yang mana beliau talaqqo’ala
thoriqotoh Assyadiliyyah,
tabarrukan min thoriqis shufiyyah
bittisolis sanadi ila Rosulillah SAW,
dari abi Syeikh Dimyati Al Bantani,
bin Amin, dari Syeikh Nahrowi Al-
Jawi, dari Syeikh Ahmad Nahrowi
Muhtarom Al- Jawi, dari Syeikh
Muhammad Soleh.
Juga Syeikh Dimyati, mengambil
talaqqo dari Syeikh Muhammad
Baidhowi Alasemi, dari Syeikh Idris
Jawil Wustho Solo, dari Syeikh
Muhammad Soleh yang sama dari
Sayyid Aly Al- Madani, dari Al
Alamah Ahmad minnatulloh A-
Azhar, dari Syeikh Muhammad Al-
Bahity, dari Al- Alamah Assyabasy,
dari Al- Alamah Al- Ustad As-
sakadandari Assobagh, dari
Assayyidi Muhammad Azzarqoni,
dari Sayyidi Aly- Al Ajhuri, dari Al-
Alamah Annur Al- Qorofi, dari
Syeikh Burhan Al- Qolqosandy, dari
Al- Alamah Abil Abbas Ahmad bin
Muhammad bin Abi Bakrin Al-
Washity, dari Al- Alamah
Muhammad bin Muhammad Al-
Maidumy, dari Sayyidi Abi Abbas Al-
Mursy, dari Quthbi wa Solihin
Assayyid Abi Al- Hasan Assyadili,
dari Quthbi Al- Kabir AbduSalam bin
Masyisi, dari Quthbi Syahir Abdul
Rohman Al- Madany, dari Quthbi Al-
Kabir Taqiyyuddin Al- Fuqoir, dari
Al-Quthbu Fakhruddin, dari Al-
Quthbu Nuruddin Abul Hasan, dari
Al- Quthbu Tajuddin, dari Al- Quthbu
Syamsuddin, dari Zaenuddin Al-
Qozwainy, dari Ibrohim Al- Basyri,
dari Al- Quthbu Ahmad Al- Marwany,
dari Al- Quthbi Sa’id, dari Al- Quthbi
Sa’ad, dari Al- Quthbu Fathussu’ud,
dari Al- Quthbu Sa’id Al- Ghozwany,
dari Abu Muhammad Jabir, dari
Awwalul Aqtob Saiyyidina Hasan bin
Aly Karromallohul wajhah, dari
Saiyyidina wamaulana Muhaammad
Rosululloh SAW, dari Malaikatulloh
Jibril AS, dari Robbul Izzah Jalla
Jalluh.
Mukoddimah
Ilmu tasawwuf dalam pandangan
ahlul ulama; “Secara rinci mereka
menafsirinya lebih dari 2000
pemahaman. Namun dalam
banyaknya penafsiran yang mereka
kemukakan, pada intinya keluasan tadi
menjurus pada satu kaedah yang bisa
digabungkan dalam satu penafsiran
“Sidku Tawajjuh Ilalloh” yang artinya;
“Sebatas mana kebenaran kita dalam
menghadap kepada Allah SWT ?”
Dalam pandangan dasar, dimana kita
punya kesungguhan dalam
menghadap kepada Allah, maka disitu
pula ada bagian untuk bisa mengenal
ilmu bangsa tasawwuf. Namun dalam
mengenal kedekatan ini semuanya
harus berlandaskan tatacara serta
mengikuti hukum yang sudah menjadi
syareat dari ketentuan Alah SWT (fikih/
syareat Islam).
Maka dalam hal ini kita tidak bisa
menghadap kepada Allah SWT,
apabila dalam perjalanannya nanti
tanpa dilandasi dengan amaliah
bangsa Islamiyyah.
Juga,,,, pengertian kita tidak bisa
sampai, dalam pengenalan ilmu
bangsa tasawwuf kecuali dengan
menjaga makna Islam (tingkah laku)
Sebab tidak ada fikih yang sempurna
dalam diri manusia kecuali dengan
berpegangan ilmu tasawwuf. Hal
semacam ini pernah dikemukakan
oleh imam Malik, yang menyatakan;
“Orang yang memegang ilmu
tasawwuf tanpa mengerjakan hukum
Islam (fikih) maka orang itu tergolong
kaum Zindik” (kafir Zindik);
“Bagi yang mengerjakan Islam tapi
tidak menjalankan hukum tasawwuf,
orang itu tergolong ahli Fasik. Adapun
bagi yang menjalankan keduanya, fikih
dan tasawwuf, mereka disebut
golongan ahli Tahkik”
Yang dimaksud dengan orang
tasawwuf tanpa menjalankan hukum
Fikih (Zindik) “Mereka mengatakan
Hakekat tapi tidak mengerjakan
Syareat” seperti memahami ilmu
bathin tapi tidak menjalankan ilmu
bangsa syareat.
Mengenal terjadinya zindik, karena
mereka tidak mengikuti syareatnya
Nabi Muhammad SAW, dan juga tidak
tunduk atau tidak mengakui dengan
apa yang sudah dibawa oleh
Nabiyulloh Muhammad SAW. Dengan
kata lain, mereka paham tapi tidak
mengakuinya/ meyakini, maka sebab
itu golongan ini dinamakan kafir
zindik.
Sedangkan yang dimaksud orang Fikih
yang tidak menjalankan hukum
tasawwuf (fasik) “Semua amalnya
bukan karena Allah” Alasanya; “Ihlas
yang terdapat dalam diri manusia
tidak dapat diperoleh kecuali dengan
jalan ilmu tasawwuf”
Lalu yang dimaksud dengan tahkiknya
orang yang menjalankan tasawwuf
dan fikih;
“Mereka selalu menjaga antara
Syareat dan Hakekatnya dohir dan
bathin” atau menjaga amaliah Islam
dan Ihsan secara utuh. Dalam
pandangan lain, mereka bisa
menerapkan arti hidup menuju jalan
kebajikan selamanya.
Mempelajari ilmu tasawwuf menurut
imam Gozali, hukumnya fardhu Ain
(Wajib) Alasan wajib disini karena sifat
manusia tidak pernah lepas dari aib
dan penyakit kecuali para Ambiya wal-
Mursalin atau golongan Arifin
Kamalat.
Bahkan Imam Assyadili memberikan
pendapatnya;
“Orang yang tidak mengerti ilmu
tasawwuf, maka meninggalnya dalam
keadaan membawa dosa besar tanpa
mereka menyadarinya” Maksud dari
perkataan ini mereka mati dalam
keadaan hina dimata Allah SWT
(Karena kurang memahaminya
hukum dan kewajiban, sewaktu
mereka masih hidup).
Mengenal pandangan ilmu tasawwuf,
pengambilannya bukan bersumber
dari ilmu lisan melainkan diambil dari
segi pemahaman rasa dan
penemuan/ dhaukiyyah. Dan luasnya
ilmu tasawwuf tidak bisa diambil dari
sekedar buku tapi harus melalui
bimbingan Ahlulloh yang telah
memahami ilmu rasa (Min ahli
Adzwak)
Sebagai ilmu bangsa bathin, ilmu
tasawwuf juga tidak bisa diambil
hanya dari qila wa qola (Katanya)
akan tetapi harus dengan “Hidmatur
Rijal”/ khidmat kepada Mursyid
warosatil Ambiya’ atau dengan
perjalanan “Wasuhbati ahli Kamal”/
Berteman dengan ahli yang
memahami ilmu bangsa Ilahiyyah.
“Wallahi ma aflaha man aflah, illa
bisuhbati man aflah/ Demi Allah,
tidak akan bahagia orang yang
bahagia kecuali berteman dengan
orang yang bahagia” maksud dari
perkataan ini; “Dimana kita ingin
menyelami ilmu bangsa tasawwuf,
maka harus bisa berteman dengan
para ahli rasa yang memahami ilmu
bangsa Ilahiyyah/ tasawwuf”
Menurut imam Abu Qosim Al-
Junaedi; “Kalau saya tahu diatas langit
ada ilmu yang lebih utama dari
tasawwuf, niscaya saya akan datang
mencarinya” Hal semacam ini
menunjukkan bahwa, ilmu tasawwuf
sangat diwajibkan untuk kita pelajari
(Ilmu paling tertinggi)
Sedangkan menurut imam Saqili;
“Orang yang benar dalam
mempelajari ilmu tasawwuf disebut
ahlul Khosoh, sedangkan yang
memahami dan mengamalkannya
disebut Khususul Khusus dan bagi
yang mempunyai dhaukiyah dalam
menyimpulkan ilmu tasawwuf serta
mengamalkannya dinamakan, Bahrun
bila Sahil (lautan tanpa batas) atau
Nadzmun Alladzi la Yudrok (Bintang
yang tiada banding)
Mempelajari ilmu tasawwuf tidak akan
bisa luas kecuali dengan bimbingan
Syaekhun Kamil. Dan yang dimaksud
Syaekhun Kamil, disini adalah;
“Alladzi yurihuka minatta’ab,
Lalladzi yadulluka ala ta’ab / guru
yang mengistirahatkan kita dari
kemasyakotan dan bukan guru yang
membebani kepada muridnya”
Yang dimaksud dari pembedaran tadi
adalah, guru yang menunjukkan jalan
kepada Allah dan memberikan
penataan bathin untuk melupakan
hawa nafsunya. Sebab dalam
pengertian sebenarnya, kalau bisa
melupakan hawa nafsu, maka yang
terjadi, kita akan selalu ingat kepada
Allah.
Seperti yang terserat dalam Al-
Qur’anul Karim; “Wadzkur Robbaka
idza nasita”/ Ingatlah kepada Allah,
sewaktu kamu melupakan hawa
nafsunya.
Mengenal masyakot yang terdapat
dalam diri manusia, semua terjadi
akibat ingatanya hanya tertuju pada
kepentingan hawa nafsunya belaka,
tanpa mau berfikir manfaat lainnya
yang sudah jauh tertanam dalam
sifatnya sendiri” Dengan kata lain,
tidak bisa mengambil pelajaran/
hikmah, dari kejadian yang ada.
Juga seperti perkataan Rosululloh
SAW;
“Innalloha ja’ala rouha warrohata
firridho wal yakin/ Allah
menciptakan ketenangan (senang)
dan kebahagiaan (merasa enak)
sewaktu kita dalam keadaan ridho
dan yakin”
Ilmu tasawwuf terbagi menjadi (4)
bagian;
1- Tadzkir wal- Wa’di, (Ilmu yang bisa
meningkatkan/ memberi pencerahan
terhadap badan kita) Hal semacam ini
dikhususkan bagi kalangan awam
agar lebih meningkatkan tasawwufnya
ke jenjang ahli khosoh. Dan tahapan
ini bisa dipelajari lewat karangan
imam Ibnu Zauji dan imam Muhasibi,
atau bisa juga lewat pemahaman
yang diambil dari permulaan kitab
“Ihya” dan “Qut” karangan imam
Gozali atau karangan setingkat
lainnya.
2- Membersihkan A’mal (Untuk
Meningkatkan amal ibadah kita agar
lebih baik dalam menata tingkah laku)
Cara seperti ini bisa dilakukan dengan
menjaga bathin secara istikomah dan
menghiasinya dengan ahlakul
Mahmudah, atau dengan cara
mensucikan dari sifat Ausoful
Madmumah/ sifat yang tercela.
Tasawwuf ini bisa dipelajari dari
beberapa karangan imam Gozali dan
imam Syahro Wardi.
3- Untuk mewujudkan Ahwal,
Maqomat dan Ahkamul Adzwak wal
Manazilat (Memahami beberapa
hukum rasa dan kedudukan)
Pemahaman ini hanya dimiliki
golongan tertentu yang sudah
menjadi bagian dari orang- orang
mulia yang berasal dari Muridin atau
Mubtadiin minal Arifin. Dan tasawwuf
ini bisa dipelajari dari Hikam atau
karangan imam Hatimi, dan imam Al-
Buny, dalam kitab “Manazilat”.
4- Untuk memahami kema’rifatan dan
ilmu- ilmu bangsa Ilahiyyah. Ilmu ini
tercipta bagi golongan Arifin Sa’ir,
yang memahami keluasan ilmunya
agar bisa sampai ketingkat Arifin
Siddik. Dan tasawwuf ini bisa dipelajari
dari kitab Hikam, Tanwir dan Lathoiful
Minan. Yang mana semua karangan
tadi berasal dari satu muallif, Al- Imam
Ibnu Athoillah Al- Askandari.
Karena Maksud dan tujuan tasawwuf
itu “Sidkut Tawajjuh Ilallah
Wattaqorrubu Ilaih” (Sebatas mana
kebenaran kita menghadap dan
mendekatkan diri kepada Allah) maka
dalam hal ini diharuskan untuk
berpegang/ I’timad kepada Allah
semata, dan bukan kepada lainnya.
Dan termasuk selain Allah, adalah;
“Amal ibadah kita sendiri”
Disini kyai Musonnif mengatakan
dalam pemahaman tasawwufnya;
Artinya;
Setengah dari tanda dan alamat
berpegangan pada amaliah kita/
selain Allah, yaitu;
“Lemahnya harapan kita sewaktu
jatuh mengerjakan maksiat atau
kurangnya amal ibadah kita (Jatuhnya
sesuatu yang kita pegang)
Makna lain dari pembedaran ini;
“Berpegang kepada amal dalam
pandangan para ahli Arifin termasuk
Madmumun” Dan tandanya orang
yang berpegang pada amal;
“Kurangnya harapan sewaktu jatuh
terhadap maksiat atau sewaktu
lemahnya ibadah kita”
Terjadinya I’timad terhadap amal itu
termasuk Madmumum, dikarenakan
amaliyahnya timbul dari “Rukyatun
nafsi ” (melihat badan kita sendiri)
atau “ Nisbatul amal ila
nafsi ” (Menisbatkan amal pada diri
kita sendiri)
Keterangan.
Orang yang I’timad selain Allah,
terbagi dalam (2) bagian;
1. Ubad/ Abidun.
2. Muridun/ Salikun.
Yang dimaksud dengan Ubad/
Abidun; “I’timad terhadap amal
dengan mengharapkan ingin masuk
surga dan merasakan kenikmatanya
serta dijauhkan dari azab neraka”
Adapun yang dimaksud dengan
Muridun; “I’timad terhadap amal
didalam mengharapkan Wusul Ilalloh
wakasyful Astar Anil Qulub,
Wahusulul Ahwal Alqoimati biha wal
Mukasyafatu wal
Asror” (Mengharapkan wusul kepada
Allah dan terbukanya hizab dalam
hati. Atau yang dihasilkan dari
maqomat/ ahwal, dan terbukanya sir)
Adapun pandangan Arifin? Mereka
melihat, bahwa dirinya tidak
mempunyai sesuatu apapun, terlebih
sampai I’timad terhadap apa yang
keluar dari badanya, seperti amal-
amal ibadah.
Jadi Arifin melihat bahwa fa’il yang
Hakiki itu adalah Allah, dan dirinya
hanya sekedar tempat keluarnya
amal- amal.
Alamatnya orang Arifin; “Fana’ atas
dirinya sendiri” Jadi tatkala Arifin jatuh
terhadap maksiat/ goflah, maka Arifin
melihat pada ketentuan Allah, yang
jatuh kepadanya. Begitu juga sewaktu
takwa/ musyahadatul qolbiyyah,
pandangan Arifin sama sekali tidak
melihat khoul dan quahnya.
Penjelasan;
Jadi bagi ahli Arifin, sama sekali tidak
mempunyai perbedaan dalam
pandangan antara thoat dan maksiat
didalam masalah roja’ dan khoufnya.
Sebab Arifin tergolong “Gorikun fi
bihari tauhid” yang artinya; “Khouf
dan roja’nya Arifin itu sama. Maksud
dalam pembedaran roja’ dan
khoufnya tidak berkurang sewaktu
jatuh terhadap maksiat dan tidak
bertambah sewaktu thoat atau
musyahadah qolbiyyah. Alasannya,
sebab khoufnya Arifin timbul dari
Syuhudul Jalal dan roja’nya dari
Syuhudul Jamal. “Wajalalulloh
Wajamaluhu layatagoiyironi biziadatin
wanuksonin” artinya; sifat Jalal dan
Jamalnya Allah, tidak berubah dengan
bertambah atau berkurangnya amal.
Dan orang yang tidak menemui
alamatnya orang Arifin, maka harus
mujahadah dan riyadho sampai
tingkat makom Irfan.
. Melihat sesuatu karena Allah, terbagi
(2) bagian;
- Qodlo Qodarnya Allah (Kepastian/
ketentuannya Allah)
- Muqdlo ‘Alaih Maqdur bihi (tingkah
laku kita)
Apabila kita memandang Qodlo, wal
Qodar, maka kita harus menerima
(ridho) dengan segala ketentuan
Allah, baik didalam masalah takwa,
maksiat, nikmat ataupun musibah.
Tapi sewaktu memandang “Muqdlo
‘Alaih Maqdur Bihi”/ tingkah laku kita
yang sudah ditentukan Allah SWT,
maka melihatnya dengan cara
pandangan berbeda.
Seperti disaat kita mendapatkan suatu
kenikmatan, maka yang dilakukannya
wajib bersyukur dan sewaktu
mendapatkan suatu musibah maka
harus menerimanya dengan rasa
sabar diri.
Juga sewaktu bisa bertakwa, yang kita
lakukan adalah Syuhudul Minnah./
melihat kenikmatan yang diberikan
Allah SWT, dan sewaktu jatuh pada
maksiat, maka wajib secepatnya
kembali kepada- Nya (Allah) dengan
melakukan taubat (Arruju’ Ilalah)
untuk menjaga kembali adab kita
kepada-Nya.
Yang dimaksud Qodlo wal Qodar;
“Ketentuan Allah pada zaman azalli”
dan yang dimaksud dengan Muqdlo
‘Alaih Maqdur Bihi; “Pekerjaan yang
dihadapkan saat ini”
Maksud dari perkataan tadi; “Tidak
ada suatu perbedaan bagi Arifin tadi
cuma dalam hal khouf dan roja’nya
saja.
Adapun dalam menghadapi masalah
ketakwaan dan maksiat, mereka
menyikapinya dengan dua arah yang
berlawanan, sebab; “Fariqun fil
jannah wa Fariqun Fissa’ir”/ satu
golongan masuk surga dan satu
golongan lagi masuk neraka.
Faedah
A’mal menurut ahli Sufiyyah, terbagi
menjadi (3) bagian;
1- Amalatu Syareat, atau bisa juga
dinamakan;
Amalul Islam
Amalul Ibadah
Amalul Bidayah
Amalul ahli Awam
2- Amalatu Thorekhot, atau bisa juga
dinamakan;
Amalul Iman
Amalul Ubudiyyah
Amalul ahli Wasthi
Amalul ahli Khusus
3- Amalatul Hakekat , atau bisa juga
dinamakan
Amalul Ihsan
Amalul Ubudah/ khurriyyah (Merdeka)
Amalul ahli Nihayah
Amalul ahli Khususul Khusus
Yang dinamakan A’mal Syareat,
adalah;
“Anta’budahu” yang artinya; “Ibadah
kita kepada Allah” atau bisa juga
dinamakan “Mim Babi Lama’buda
Bihakki Ilallah” (Tidak ada yang wajib
disembah kecuali Allah)
Inti dari A’mal Syareat; “Menjaga
anggota dohir agar lebih baik” Bisa
juga dengan Cara; “Menjauhkan
larangan Allah, dan mengikuti
perintah- Nya”
Menjaga anggota dohir terdiri dari (3)
bagian;
- Taubat. (Merubah sifat jelek menjadi
baik. Dan menjaga kebaikan menuju
sifat yang lebih baik)
- Takwa. (Menjalankan perintah Allah
dan menjauhi larangannya)
- Istikomah. (Menjaga keseimbangan
amal yang sudah kita jalankan)
Yang dinamakan Amalut Thorekot,
adalah;
“Antaksidahu” yang artinya; “Tidak
ada yang dituju kecuali Allah SWT”
A’mal ini bisa juga dinamakan “Mim
Babi Lamaksuda Bihakki
Ilallah ” (Tidak ada Dzat yang wajib
dituju kecuali Allah)
Inti dari Amalut Thorekot; “Menjaga
bathin kita agar lebih baik” Atau bisa
juga dengan cara; “Menghilangkan
sifat Madmumah/ tercela, dan
menghiasinya dengan sifat
Mahmudah/ sifat yang terpuji”
Menjaga bathin, itu terdiri dari (3)
bagian;
- Ihlas. (Memahami segala sesuatunya
karena Allah)
- Sidik. (Menjaga kejujuran sampai
membuahkan sifat tenang)
- Thuma’ninah. (Tenangnya hati dan
pikiran yang timbul dari kebiasaan
Mujahadah)
Yang dinamakan Amalul Hakekat,
adalah;
“Antasyhadahu ” yang artinya; “yang
dilihat hanya Allah” bisa juga
dinamakan “Mim Babi Lamasyhuda
Bihakki Ilallah” (Tidak ada Dzat yang
dilihat kecuali Allah)
Inti dari Amalul Hakekat; “ Untuk
menjadikan Ruh/ sir, lebih baik” Atau
bisa juga dengan cara; “ Menghinakan
Ruh/ sir, sehingga terbiasa terhadap
adab dan tawaddu’ kita serta
menjadikannya ahlak terpuji
dihadapan Allah.
Menjaga Ruh/ sir, terdiri dari (3)
bagian;
- Muroqobah. (Sepertinya Allah selalu
hadir dihadapan kita)
- Musyahadah. (Pandangan kita hanya
tertuju kepada Allah)
- Ma’rifat. (Memahami Allah dan
ciptaanya dengan cara adab)
Disisi lain, kita tidak boleh pindah dari
amaliah Syareat, menuju amaliah
Thorekot, sebelum bisa mewujudkan
amaliah Syareat itu sendri, seperti
contoh;
“Mewujudkan Taubat dengan syarat-
syaratnya, atau, mewujudkan Takwa
dengan rukun- rukunya, serta
mewujudkan Istikomah dengan
bagian- bagiannya”
Yang dimaksud Istikomah dengan
bagian-bagiannya, yaitu;
“Mengikuti tingkah laku dan adab kita
kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW, dalam segala Akwal, Af’al dan
Ahwal”
Dalam pandangan lain, apabila dohir
kita sudah terjaga dan tetap
berpegangan dengan amaliah Syareat,
niscaya kita bisa pindah menuju
amaliah bangsa Thorekot bathin
(Dengan tidak meninggalkan
kewajiban Syareat dengan
membersihkan diri dari sifatul
Basyariah) dan apabila sudah bersih
dari sifat Basyariah, niscaya kita bisa
pindah menuju amaliah Hakekat,
dengan jalan menghiasinya lewat sifat
Ruhaniyyah, atau menata adab kita
kepada Allah SWT.
Sebab siapapun yang telah
menduduki maqom ini, niscaya segala
sesuatunya telah lepas dari sifat
masyakot dan yang ada dalam dirinya
hanyalah husnul adab dengan Allah
SWT.
Tanbihun :
Ketahuilah,,,,, wahai saudaraku!!!.
Pokok utama seorang murid dalam
menjaga adab terhadap gurunya
(Mursyid) adalah dengan cara
Mahabbah/ kecintaan. Dan bagi murid
yang belum bisa mewujudkan rasa
cinta/ masih mengutamakan
kepentingannya sendiri, maka murid
tersebut tidak selamat dalam
perjalanannya kelak.
Sebab kecintaan seorang murid
terhadap gurunya merupakan
martabat kekal yang wajib dipelihara.
Alasanya,,,,, keagungan derajat yang
dimilikinya, akan membawa kita
menuju puncak tertinggi dihadapan Al
Haq Allah Jalla Wa’ Ala.
Memahami adab seorang murid,
ulama ahli Thorikoh mufakat :
Setengah dari murid yang siddik
(benar) “Mereka mau mengikuti
segala ajaran gurunya untuk selalu
bertaubat kepada Allah, dan
membersihkannya dari sifat tercela”
Dan setengah dari syarat murid dalam
batasan Mahabbah; “Orang itu selalu
menutup telinga dari perkataan orang
lain selain gurunya sendiri”
Bagi seorang murid yang telah
memahami makna kecintaan, mereka
lebih mengutamakan guru daripada
keperluan pribadinya (diatas
segalanya) Dalam makna lain, murid
tidak perduli dengan cemohan orang
banyak, sekampung atau se-kota, atas
pribadi gurunya, karena cemohan
mereka, tidak menjadikan hatinya
berubah.
Share this post :
Comments
0 Comments

Posting Komentar

 
Home | About | Contact Us
Site Map | Privacy Policy
Copyright © 2013. Hari 1/2 Matang - All Rights Reserved
Template by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger